Di tengah laut biru yang memeluk gugusan pulau-pulau kecil di timur Indonesia, berdiri sebuah kota yang kaya sejarah dan budaya Ternate, jantung Provinsi Maluku Utara. Namun di balik keindahan alam dan keramahan masyarakatnya, tersimpan sebuah realitas yang tak bisa kita abaikan: peningkatan kasus HIV/AIDS yang mengkhawatirkan, terutama dalam satu dekade terakhir.
Sebagai mahasiswa kedokteran di Universitas Khairun, saya tidak bisa menutup mata. Ternate bukan hanya tempat saya menuntut ilmu, tetapi juga rumah bagi ribuan jiwa yang secara diam-diam menghadapi virus yang tak terlihat, tapi begitu nyata dampaknya. Dalam beberapa tahun terakhir, data Dinas Kesehatan Provinsi Maluku Utara menunjukkan peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS, dengan Kota Ternate sebagai salah satu kontributor tertinggi. Lebih menyedihkan lagi, sebagian besar dari mereka terlambat terdeteksi, datang dalam kondisi sudah terinfeksi berat, atau bahkan baru diketahui setelah berada di fase AIDS.
Hal yang sungguh menyakitkan bukan hanya virusnya. Tapi stigma yang membungkusnya. Di tengah masyarakat yang masih memandang HIV sebagai aib, penyintas menjadi korban pengucilan. Seorang ibu rumah tangga yang terinfeksi dari suaminya dianggap “kotor.” Remaja yang ingin tahu tentang seks aman dianggap “nakal.” Orang yang mencari informasi tentang tes HIV malah dicurigai. Padahal, pengetahuan adalah kunci utama perlindungan, dan keterbukaan adalah langkah pertama penyembuhan.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana banyak masyarakat di Ternate, baik di pusat kota maupun pesisir, masih belum paham bagaimana HIV menular dan bagaimana cara mencegahnya. Sebagian bahkan masih percaya bahwa HIV bisa menular lewat pelukan, berbagi piring, atau sentuhan biasa. Ketakutan ini berakar dari kurangnya edukasi dan minimnya akses terhadap informasi yang ramah, mudah dipahami, dan tidak menghakimi.
Ini adalah luka kita bersama. Bila kita tidak mulai menjahitnya hari ini, luka itu akan menjadi borok sosial yang lebih parah di masa depan. Saya percaya bahwa Ternate bisa menjadi model kota inklusif dalam penanggulangan HIV/AIDS bukan karena kita sempurna, tapi karena kita punya peluang besar untuk memperbaiki keadaan. Saya ingin mengusulkan sebuah gagasan yang saya beri nama MAWI: Masyarakat Berwawasan Inklusif. Sebuah gerakan akar rumput yang bertujuan menghadirkan pendekatan humanis, inklusif, dan berbasis komunitas untuk mengedukasi, mendampingi, dan menguatkan masyarakat terkait HIV/AIDS.
Gerakan ini saya gagas bukan hanya dari meja seminar, tetapi dari pengamatan langsung. Dari obrolan dengan teman-teman di kampus, warga di kelurahan, tenaga kesehatan di puskesmas, hingga para penyintas yang secara diam-diam berbagi cerita dan luka. Saya sadar bahwa program sebesar apapun akan gagal bila tidak dimulai dari mendengarkan. Maka dari itu, MAWI tidak hanya menawarkan edukasi, tetapi juga ruang empati—tempat di mana masyarakat bisa belajar tanpa dihakimi, bertanya tanpa ditertawakan, dan mendapat bantuan tanpa merasa dikucilkan.
Dalam MAWI, remaja akan menjadi duta informasi. Tokoh agama akan menjadi mitra penyebar pesan kebaikan. Tenaga kesehatan akan dilatih untuk menyampaikan informasi dengan bahasa yang mudah dicerna. Dan yang paling penting: penyintas akan diberi ruang untuk bangkit, bukan disembunyikan sebagai “rahasia keluarga.”
Data dari Kementerian Kesehatan RI (2023) menegaskan bahwa lebih dari 50% kasus HIV baru di Indonesia terjadi di wilayah Indonesia Timur, termasuk Maluku Utara. Ini bukan sekadar statistik; ini adalah seruan darurat. Kota Ternate, dengan populasi yang terus bertambah dan mobilitas masyarakat yang tinggi, menjadi titik strategisbaik sebagai zona risiko maupun sebagai pusat perubahan.
Kita tidak bisa lagi menunggu. Penanggulangan HIV/AIDS tidak cukup dengan brosur dan baliho. Kita perlu menjangkau sekolah, masjid, pasar, warung kopi, bahkan grup WhatsApp keluarga. Edukasi harus masuk ke ruang-ruang tempat masyarakat bercengkerama. Karena selama stigma lebih kuat daripada pengetahuan, HIV akan terus menyebar secara senyap.
Sebagai mahasiswa kedokteran, saya menyadari bahwa tanggung jawab saya bukan hanya mempelajari anatomi tubuh manusia, tetapi juga merawat luka-luka sosial di sekitar saya. Ketika saya memilih untuk menjadi dokter, saya tahu bahwa saya tidak hanya akan berhadapan dengan penyakit, tetapi juga dengan ketakutan, kebingungan, dan kesepian. Dan dalam konteks HIV/AIDS, ketiganya begitu nyata.
Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan kepada seluruh pembaca di Indonesia terutama mereka yang berasal dari wilayah timur, bahwa kita punya kekuatan untuk mengubah narasi. Dari narasi ketakutan menjadi narasi harapan. Dari isolasi menjadi solidaritas. Dari cemooh menjadi cinta.
Saya tahu, mungkin suara saya belum sekeras tokoh nasional. Tapi saya percaya, suara yang lahir dari hati akan sampai ke hati. Dan bila ada jutaan orang yang membaca ini, saya ingin kalian tahu: di Ternate, ada seorang mahasiswa yang percaya bahwa HIV/AIDS bisa dikalahkan bukan dengan takut, tapi dengan tahu. Bukan dengan caci, tapi dengan empati.
Penulis : Hasmawi, Mahasiswa Semester 2 (Angkatan 2024) Prodi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran & Ilmu Kesehatan, Unkhair.